Warung Bendega Lebih Oleh Pemilik

Warung Bendega Lebih Oleh Pemilik

JAKARTA -- Warung kelontong Madura atau warung sembako Madura muncul pertama kali di Jakarta sekitar akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Sesuai dengan nama, para pemilik warung kala itu berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Dari Pulau Madura, mereka merantau ke Jakarta, khususnya ke daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara.

“Sejak awal Warung Madura mulai tumbuh di kota-kota besar karena para perantau asal Madura sengaja mencari peluang usaha di kota-kota besar. Dimulai dari Jakarta dan sekarang sudah menyebar ke Jabodetabek. Bahkan, sekarang sudah ke kota-kota besar lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo dan Surabaya,” kata Ketua Pusat Studi Sosiologi dan Pengembangan Masyarakat (PS2PM), Program Studi Sosiologi, FISIB, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Medhy Aginta Hidayat.

Medhy juga pernah melakukan penelitian tentang Warung Madura yang bisa disimak dalam penelitiannya berjudul “Jejaring Warung Kelontong Madura di Jabodetabek: Model Kemandirian Sosial Ekonomi Perantau Berbasis Kearifan Lokal, Modal Sosial dan Identitas Etnik.”

Di Jakarta, warung kelontong tidak hanya Warung Madura. Ada juga Warung Kuningan yang pemiliknya berasal dari Kuningan Jawa Barat dan Warung Ucok atau Warung Batak. Agar menonjol di antara warung kelontong, Warung Madura memiliki beberapa ciri khas.

Pertama adalah jam operasionalnya 24 jam. Menurut Medhy, cara ini cerdik mengingat Warung Madura mengambil ceruk pasar pada saat warung lain atau minimarket sudah tutup. Selain jam operasional, hal lain yang membedakan adalah cara menata barang dagangannya.

“Cara men-display barang dagangannya seragam. Pasti ada beras yang diletakkan di tempat kaca, ada mini POM Bensin. Warung Madura yang berada di pemukiman penduduk bisa terletak di gang,” ujarnya.

Selain itu, sistem atau cara pengelolaan Warung Madura seragam. Mereka saling bekerja sama untuk mendapatkan barang dagangan, sistem penggajian, dan sistem merekrut pegawai. Ciri khas terakhir adalah hampir semua pegawai Warung Madura adalah orang Madura. Mereka bisa berasal dari keluarga, teman, atau tetangga si pemilik.

Sejauh ini, Mendhy melihat persaingan usaha antara Warung Madura dan Warung Batak atau Warung Kuningan masih sehat. Sebenarnya kata dia, di lapangan para perantau sudah saling memahami posisi mereka.

“Ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk saling menghargai, saling menjaga, agar mereka sama-sama bisa hidup. Misalnya aturan jarak antar warung, ada kesepakatan tidak tertulis boleh membangun warung dengan jarak dua atau tiga tiang listrik. Selama kesepakatan-kesepakatan ini diterima, saya kira tidak akan terjadi konflik,” ucap dia.

Seiring berjalannya waktu, Warung Madura terus berkembang. Tidak menutup kemungkinan model usaha Warung Madura akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Khususnya, mereka yang menyukai harga mura dan ingin belanja dekat rumah apalagi buka 24 jam.

“Berdasarkan data yang ada, jumlah Warung Madura di Jabodetabek saja setiap tahun terus bertambah. Belum di kota-kota lain. Jadi saya kira model usahanya memang menarik dan disukai masyarakat perkotaan,” kata dia. Baca Selengkapnya';

×Close Kode referensi sudah berhasil didaftarkan.

Belanja di App banyak untungnya:

Type of small family-owned business in Indonesia

A warung (old spelling: waroeng or warong) is a type of small family-owned business — small retail, eatery, or café — in Indonesia.[1] A warung is an essential part of daily life in Indonesia. Over time, the term warung has shifted somewhat — especially among foreign visitors, expatriates, and people abroad — to refer more specifically to a modest Indonesian eatery or a place that sells Indonesian retail items (mostly groceries or foodstuff).[2] But for the majority of Indonesians, it still refers to a small, neighborhood convenience shop, often a front room or booth in a family's home.

There are tourist-serving establishments on the island of Bali and elsewhere that attach the term warung to their business to indicate their Indonesian nature.[3] Traditionally, warung is indeed a family-owned business, run by the family members, mostly by women.[4]

Traditional warungs are made from wood, bamboo, or woven thatch. More permanent warungs are stalls made from bricks and concrete, which are often family-owned businesses attached to their homes. Some smaller portable warungs are made from tin, zinc, or molded fiberglass in some modern versions. Warung tenda is a portable tent-based warung, covered with canvas, fabric, tarp, or plastic sheet tent for roofing.

The term warung simply denotes a wide category of small businesses, either a small retail shop or an eatery. It is widely used in Java and most of Indonesia. In certain parts of Sumatra and the Malay Peninsula, the word kedai is sometimes used as well. In Javanese culture areas, such as in Yogyakarta, Semarang, and Surakarta, its counterpart term wedhangan or angkringan is more commonly found.[4] On the other hand, the term toko is used for a larger and more established shop.

The term can be used to loosely refer to many other types of shops, including the wartel (short for warung telepon, essentially a manned phone booth) and warnet (short for warung internet Internet café).

There are many kinds of warung, some take the form of a small shop that sells cold bottled drinks, candy, cigarettes, snacks, krupuk, and other daily necessities, while the larger ones are small restaurant establishments. A warung that sells food typically sells easily-prepared local foods; pisang goreng and many kinds of gorengan, nasi goreng (fried rice), and mie goreng (fried noodles).

On the resort island of Bali and Lombok, warung might refer to a touristy cabana cafe that sells locals' favourites as well as Asian or Western food. Other than Indonesian dishes, on their menu, there might be a selection of soups, steaks, fries, sandwiches, or grilled fish.

Some types of warung are:

Most of the time, warung are named after the main dishes they sell. For example, warung bubur kacang ijo or warung burjo sells bubur kacang hijau, warung roti bakar sells grilled bread, warung pecel lele sells pecel lele or fried catfish with sambal, while warung indomie sells cooked instant noodles, although the brand might not always be Indomie.

Warung rokok, cigarette-selling warung.

Warung kopi, small coffee shop selling coffee, tea, and snacks.

Warung Tegal, selling Javanese food from Tegal.

on boat on the bank of the

Wikimedia Commons has media related to

Anda mungkin ingin melihat